KEPAILITAN

Senin, 22 April 2013


KEPAILITAN

Penyusun :
Hasrizal (11127100064)


PROGRAM STUDY ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

 



BAB I
PENDAHULUAN
 A.    Latar Belakang
Kepailiatan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga,dikarenakan debitor tersebut tidak bias membayar utangnya.harta debitor kemudian dapat dibagikan kepada para kreditor sesuai dengan peraturan pemerintah.
Dalam hal seorang debitor hanya mempunyai seorang kreditordan debitor tidak membayar utangnya dengan suka rela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke pengadilan negeri yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditornya tersebut. Ssebaliknya dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar lunas demua kreditor, maka para kreditor akan berlomba dengan segala cara untuk mendapatkan pelunasan tagihannya terlebih dahulu. Kreditor yang dating belakangan mungkin sudah tidak dapat lagi pembayaran karna harta debitor sudah habis. Hal ini sangat tidak adil dan merugikan. Menurut Kartini Muljadi, hal inilah yang menjadi maksud dan tujuan dari undang-undang kepailitan, yaitu untuk menghindari terjadinya keadaan seperti yang depaparkan diatas.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan untuk melindungi para kreditor dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar, undang-undang kepailitan juga bertujuan untuk melindungi debitor dengan memberikan cara untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.


B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut :
1.      Apa itu kepailitan dan mengapa dapat terjadi kepailitan tersebut ?
2.      Bagaimana prinsip dan dasar hukum kepailitan didalam sistem hukum ?
3.      Bagaimana akibat hukum atas kepailitan itu ?
C.    Tujuan
Adapun tujuan penilisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui apa itu kepailitan dan mengapa kepailitan itu dapat terjadi
2.      Mengetahui bagaimana prinsip-prinsip dan dasar hukum kepailitan dalam sistem hukum
3.      Mengetahui akibat hukum dari kepailitan tersebut



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Kepailitan
Pailit, failliet (dalam bahasa belanda) atau bankrupt (dalam bahasa inggris) pailit pada dalam masa Hindia Belanda tidak dimasukkan kedalam KUHD dan diatur dalam peraturan sendiri kedalam failisements verordening sejak tahun 1906 yang dahulu diperuntukkan bagi pedagang saja, tetapi kemudian dapat digunakan untuk golongan mana saja.
Pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan UU NO. 4 tahun 1998 tentang kepailitan yang merupakan:[1]
v   Perbaikan terhadap failisements verordening 1906
v  Adanya penambahan pasal yang mengatur tentang penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU)
v   Mengenal istilah peradilan niaga, diluar pengadilan umum untuk menelesaikan sengketa bisnis.
Undang-Undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini didasarkan pada beberapa asas antara lain:
1.      Asas keseimbangan
2.      Asas kelangsungan usaha
3.      Asas keadilan
4.      Asas integrasi
Pernyataan pailit pada hakikatnya bertukuan untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan siberhutang, yaitu segala harta benda siberhutang disita atau dibukukan unuk kepentingan semua orang yang menghutangkannya.
Dengan kata lain pailitisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil. Oleh karena itu, apabila sebelum ada putusan pailit kekayaan siberhutang ssudah disita oleh salah seseorang berpiutang untuk mendapatkan pelunasan piutangnya, pinyitaan khusus ini menurut UU menjadi hapus karena dijatuhkanya putusan pernyataan pailit, sebab mulai saat itu semua harta benda siberhutang berada dibawah suatu penyitaan umum.
B.     Pengertian Kepailitan
Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditor secara adil dan tertib agar semua kreditor mendapat pembayaran yang sesuai dengan besr kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam UU No. 37 Tahun 2004.[2]
Dalam pasal 1 Butir 1 UUK disebutkan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.[3] Pengertian Kurator dalam pasal 1 Butir 5 UUK adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailid dibawah pengawaasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini. Sedangkan pengertian debitur pailit dijelaskan dalam pasal 1 Butir 4 dan 8 UUK, debitor pailid adalah debitor yang sedah dinyatakan pailid dengan putusan pengadilan. Hakim pengawas adalah hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailid atau putusan penundaan kewajiban pembayaran utang.
C.  Prinsip Hukum yang Umum dan Lazim dalam Hukum Kepailitan di Berbagai Sistem Hukum
Prinsp-prinsip hukum yang ada dalam hukum kepailitan dalam berbagai macam sistem hukum kepailitan diberbagai Negara adalah sebagai berikut:
a.       Prinsip paritas kreditorium
b.      Prinsip pari passu prorata parte
c.       Prinsip stucturat prorate
d.      Prinsip hutang dalam arti luas
e.       Prinsip debt collecetion
f.       Prinsip debt pooling
g.      Prinsip debt forgiveness
h.      Prinsip universal
i.        Prinsip territorial
j.        Prinsip comersial exit from financial distress[4]
D.  Dasar Hukum Kepailitan
Hal ini diatur dalam UU RI No.37 tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, lembaga Negara RI tahun 2004 NO. 131 tanggal 18 oktober 2004 (untuk selanjutnya disebut UUK 2004). Sebelum diundangkanya UUK 2004 masalah kepailitan diatur dalam stbl. 1905:217 juncto stbl. 1906:348 tentang failisement verordening (undang-undang tentang kepailitan). Kemudian, UU ini diperbaharui lewat Perpu NO. 1 tahun 1998 dan kemudian disahkan menjadi UU melalui UU NO. 4 tahun 1998.[5]
Sebagai dasar umum (peraturan umum) dari lembaga kepailitan ialah KUHP khususnya pasal 1131 dan 1132.
Pemerintahan pendudukan Belanda di Jakarta pernah mengeluarkan suatu peraturan darurat kepailitan dengan nama”noodregeling failisement 1947, S. 1947 NO. 214”, yang mulai berlaku pada tanggal 19 desember 1947. Peraturan tersebut sifatnya “darurat”, yaitu untuk menghapuskan putusan-putusan kepailitan yang terjadi sebelum jatuhnya jepang. Apabila tugasnya yang sementara itu telah selesai, maka tentunya peraturan itu tidak berlaku lagi.
Begitu pula dipandang dari UUD RI 1945, bahwa peraturan darurat kepailitan itu tidak termaksud didalam daftar pengesahan peraturan-peraturan Hindia Belanda yang dimaksudkan oleh pasal II aturan peralihan UUD 45.[6]
E.     Syarat Kepailitan
Kepailitan harus dinyatakan dengan putusan hakim atau pengadilan. Seorang debitur baru dapat dikatakan dalam keadaan pailit apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu keputusan hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan kepailitan itu telah ditentukan secara tegas didalam pasal 2 ayat 1 Peraturan kepailitan.
Agar debitor dapat dinyatakan pailit maka seorang debitor harus memenuhi sayarat-syarat sebagai berikut :
a.       Terdapat keadaan berhenti membayar yakni bila seorang debitur tidak mampu atau tidak mau membayar utang-utangnya;
b.      Harus terdapat lebih dari seorang kerditor dan salah seorang dari mereka itu, piutangnya sudah dapat ditagih.
Didalam beberapa jurisprudensi telah di interpretasikan arti “keadaan berhenti membayar” secara lebih luas, yakni :[7]
a.       Keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan, bahwa kekayaan debitur tidak cukup untuk membayar utangnya yang sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitur tidak membayarr utangnya itu (putusan HR, 22 maret 1946 NJ 1946, 233)
b.      Debitur dapat dianggap dalam keadaan berhinti membayar walaupun utang-utangnya itu belum dapat ditagih pada saat itu (putusan HR, 26 januari 1940 NJ 1940, 515)
Hal ini dijelaskan dalam pasal 2 : 1 UUK : Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan baik atas permohonan sendiri maupun satu atau lebih kreditornya.[8]
Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah sebagai berikut :
a.       Kreditor
b.      Debitor
c.       Bank Indonesia
d.      Mentri Keuangan
e.       Badan Pengawas Pasar Modal dan
f.       Jaksa demi Kepentingan Umum
F.     Prosedur Permohonan Pailit
Hal ini diatur dalam pasal 6 UUK yaitu :
1.      Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada ketua pengadilan
2.      Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan, dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang detandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran
3.      Panitera wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana demaksud dalam pasal 2 ayat 3-5 jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut
4.      Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua pengadilan paling lambat dua hari setelah tanggal permohonan didaftarkan
5.      Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari siding
6.      Siding pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan
7.      Atas permohonan debitor dan berdadarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat 5 sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.
G.    Cara dan Tata Cara Permohonan Kepailitan[9]
1.      Sebagai awal dari pemeriksaan kepailitan didahului dengan adanya permohonan kepailitan oleh pihak-pihak yang brwenang (debitur, kreditur maupun kejaksaan). Permohonan diajukan kepada panitera pengadilan negeri yang berwenang ditempat kediaman debitur (pasal 2 : 1 PK). UU tidak menentukan bahwa permohonan itu harus diajukan secara tertulis atau boleh diwakili oleh pengacara. Jadi permohonan kepailitan itu dapat saja dilakukan secara lisan, dan dapat pula diwakili (dikuasakan) kepada seorang pengacara.
2.      Setelah pengadilan menerima permohonan kepailitan itu, panitera atau pejabat yang mewakilinya memanggil para pemohon (kreditur maupun debitur) untuk datang kedepan siding pengadilan yang khusus memeriksa kepailitan itu. Pada sidang itulah hakim akan mendengar keterangan para pemohon dalam sidang tertutup (pasal 4 : 1 PK)
3.      Apabila di dalam pemeriksaan itu terbukti secara sumier bahwa debitur berada dalam keadaan berhenti membayar, maka hakim akan menjatuhkan keputusan kepailitan kepada debitur. Vonis kepailitan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 4 : 3 PK). Putusan kepailitan bersifat konstitutif, yaitu putusan yang meniadakan  keadaan hukum atau menimbulkan keadaan hukum yang baru.
4.      Di dalam putusan hakim itu, disamping hal-hhal yang lazim ada disetiap putusan (missal: identitas penggugat, tergugat, pertimbangan hukum dan dictum), memuat pula :
a.       Pengangkatan seorang hakim pengadilan negeri sebagai hakim komisaris
b.      Pengangkatan panitia sementara para kreditur kalau kepentingan menghendakinya
5.      Setelah keputusan kepailitan dijatuhkan oleh hakim yang memeriksa, maka panitera pengadilan negeri segera memberitahukan tentang putusan kepada :
a.       Balai Harta Peninggalan (BHP) yang berkedudukan didalam daerah hukum pengadilan negeri yang memutuskan kepailitan
b.      Perum Pos dan Giro serta perum Telekomunikasi, baik yang ada ditempat hakim yang memutuskan, maupun yang ada ditempet si pailit
6.      Untuk melindung kepentingan pihak ketiga, maka putusan kepailitan oleh BHP harus diumumkan pada majalah atau surat kabar resmi yang ditunjuk oleh hakim komisaris.
H.    Akibat Hukum Kepailitan [10]
1.      Putusan pailit dapat dijalankan lebih dahulu
Pada asasnya putusan kepailitan adalah serta merta dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut masih dilakuan suatu upaya hukum lebih lanjut.
2.      Sitaan umum
Hakikat sitaan umum terhadap harta kekayaan debitor adalah bahwa maksud adanya kepailitan adalah untuk menghentikan aksi terhadap perbuatan harta pailit oleh para kreditornya serta untuk menghentikan lalulintas transaksi terhadap harta pailit oleh debitor yang kemungkinan akan merugikan para kreditornya.
3.      Kehilangan wewenang dalam harta kekayaan
Debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk mengurus dan melakukan perbuatan kepemilikan terhadap harta kekayaan yang termasuk dalam kepailitan. Ketentuan bahwa kepailitan hanya bersangkut paut dengan harta kekayaan debitor saja adalah untuk melakukan distribusi harta kekayaan dari debitor untuk membayar utang-utang kepada kreditornya.
4.      Perikatan setelah pailit
Segala perikatan debitor yang terbit setelah putusan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit. Jika ketentuan ini dilanggar oleh sipailit, maka perbuatannya tidak mengikat kekayaan tersebut, kecuali perikatan tersebut mendatangkan keuntungan terhadap hatra pailit.
5.      Pembayaran piutang debitor pailit
Pembayaran utang dari sipailit setelah adanya putusan pailit tidak boleh dibayarkan pada sipailit, jika hal tersebut dilakukan maka tidak membebaskan utang tersebut.
6.      Penetapan putusan pengadilan sebelumnya
Putusan pernyataan pailit juga berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk juga dengan menyandera debitor.
7.      Hubungan kerja dengan para pekerja perusahaan pailit
Ketentuan ini tidak harmonis dengan ketentuan hukum perburuhan yang ada. Ketentuan ini tidak memiliki konsep PHK yang komprehensif. Bukti dari tidak komprehensif konsep PHK dalam UUK ini adalah tidak membedakan PHK demi hukum, PHK dari pengusaha dan PHK dari buruh.
8.      Kreditor separatis dan penangguhan hak
Ketentuan ini adalah merupakan implementasi lebih lanjut dari prinsip structured prorata, dimana kreditor dari debitor pailitt diklasifikasikan sesuai dengan kendisi masing-masing. Ratio logis dari ketentuan ini adalah bahwa maksud diadakannya lembaga hukum jaminan adalah untuk memberikan preferensi bagi pemegang jaminan dalam pembayaran utang-utang debitur.
9.      Organ-organ perseroan terbatas
Ketentuan ini adalah tidak dapat mengingat bahwa kepailitan hanya berakibat hukun terhadap harta kekayaan saja dan tidak berakubat pada hak-hak subjektif lainnya.
10.  Action pauliana dalam kepailitan
Dalam sistem hukum perdata dikenal 3 jenis action pauliana :
a.       Action pauliana (umum) diatur dalam pasal 1341 KUHperdata
b.      Action pauliana (waris) diatur dalam pasal 1061 KUHPerdata
c.       Action pauliana dalam kepailitan diatur dalam padal 41-47 UUK



11.  Paksa badan (Gijzeling)
Lembaga ini ditunjukkan apabila si debitor pailit tidak kooperatif dalam pembebasan kepailitan. Gijzeling merupakan suatu upaya hukum yang disediakan untuk memastikan bahwa debitor pailit atau direksi dan komisaris dalam hal yang pailit adalah PT, benar-benar membantu tugas curator dalam pengurusan dan pemberesan harta pailit.
12.  Ketentuan pidana
Pengaturan pidana dalam KUHP yang berkaitan dengan kepailitan berkaita dengan perbuatan-perbuatan sebagai berikut :
a.       Tidak mau hadir atau memberikan/tidak memberikan ketetangan yang menyesatkan dalam proses pemberesan pailit (pasal 226 KUHP)
b.      Perbuatan debitor pailit yang merugikan kreditor ( pasal 396 KUHP)
c.       Perbuatan debitor yang memindah tangankan harta sehingga merugiak para kreditor dan menyebabkan pailit (pasal 397 KUHP)
d.      Perbuatan diresi atau komisaris perseroan yang menyebabkan kerugian perseroan baik sebelum maupun setelah pailit (pasal 398 KUHP)
e.       Perbuatan menipu oleh debitor pailit kepada para kreditor (pasal 400 KUHP)
f.       Kesepakatan curang antara debitor pailit dengan kreditor dalam rangka penawaran perdamaian kepailitan (pasal 401 KUHP)
g.      Tindakan debitor pailit yang merugikan hak-hak kreditor (pasal 402 KUHP)
h.      Perbuatan direksi PT yang bertentangan dengan anggaran dasar (pasal 403 KUHP)



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam pasal 1 butir 1 UUK 2004 dijelaskan bahwa Pailit adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh curator dibawah pengawasan hakim pengawas. Seorang debitur baru dapat dikatakan dalam keadaan pailit apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan dengan suatu keputusan hakim.
Apabila dalam hal debitor menduga tidak dapat membayar utang-utangnya, maka dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Ini bertujuan untuk menghindari harta debitor disita. Dan jika PKPU diterima oleh pengadilan, debitor dapat melanjutkan usahanya.
Dalam penundaan pembayaran, ada beberapa kemungkinan terhadap utang-utang debitor :
a.       Piutang para kreditor mungkin dapat dibayar seluruhnya
b.      Pembayaran mingkin sebagian
c.       Tercapai perdamaian dibawah tangan
d.      Pernyataan pailit, jika tujuan penundaan pembayaran tidak tercapai.

B.     Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih sangat jjauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan dari pembaca masukan dan saran yang membangun bagi makalah ini.




Daftar Pustaka

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia,
       PT. Raja Grafindo Persada, Jakara, 1994.
Hasyim, Farida, Hukum Dagang, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Sembiring, Sentosa, Hukum Dagang, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1995
Shubhan, Hadi, Hukum Kepailitan, Kencana, Jakarta, 2008.


[1] Farida hasim, Hukum Dagang, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, hal. 172
[2] Ibid, hal 174
[3] Sentosa Sembiring, Hukum Dagang. Bandung, Citra Aditya Bakti, 2008, Hal 240-241
[4] Hadi shubhan, hukum kepailitan, Jakarta: kencana, 2008 hlm. 353
[5] Sentosa sembiring, hukum dagang, Bandung: PT. citra aditya bakti, 2008 hlm 240
[6] Zainal asikin, hukum kepailitan dan penundaan pembayaran di Indonesia, Jakarta: PT. raja grapindo persada, 1994 hlm 25-26
[7] Ibid, hlm. 31
[8] Op.Cit, Sentosa sembiring, hlm. 241
[9] Op.Cit, Zainal Asikin, hlm. 36-41
[10] Op.Cit, Hadi Shubhan. hlm. 162-184

3 komentar:

Chrisyan Saputra mengatakan...

Kunjungan balik nih gan.. Hehee...
Makasih ni sebelumnya dah berkunjung d blog ane

http://blogingria.blogspot.com

Senang bisa liat blognya pemerhati hukum... Semngat dan kembangkan terus deh ngeblognya... (y)

Unknown mengatakan...

makasih gan... semoga ini menjadi awal yang baik untuk perkembangan blog ini... :)

Chua mengatakan...

Pak / Mas Blog bagus nambah wawasan , saya boleh tanya ya

Kalau ada PT / Atau Developer pailit apakah sertifikat dan tanah rumahnya juga harus diserakan diambil paksa oleh kurator untuk dilelang padahal sudah ada pengikatan jual beli demikan mohon saran thanks

Posting Komentar